Kejujuran Siami dan Buah Hatinya

 
Siami dan buah hatinya, Alifa Ahmad Maulana merupakan pribadi-pribadi langka. Rasanya tidak berlebihan keduanya mendapat penghargaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai ikon kejujuran pada peringatan Hari Anak, 23 Juli mendatang. Di tengah pesimisme akan rendahnya kejujuran di kalangan anak-anak kita, di tengah keprihatinan akan karut-marut pendidikan kita, kisah Siami dan Aam, siswa kelas VI SDN Gadel II, Kecamatan Tandes, Surabaya, memberikan banyak teladan dan menggugah nurani.

Keberanian mengungkap kasus menyontek masal itu sungguh luar biasa, kendati keluarga Siami harus menghadapi tekanan pihak sekolah dan masyarakat. Sikap itu sejalan dengan kejujuran yang menjadi tema utama ujian nasional tahun ini. Yang memprihatinkan, seperti kasus kecurangan di SMA Pohuwato, Gorontalo, inisiator kecurangan SDN Gadel II juga kepala sekolah. Pengawasan ekstraketat pada semua titik rawan penyimpangan ternyata masih saja membuka celah, lagi-lagi karena faktor manusianya.

Pendidikan yang direduksi sekadar untuk meraih kelulusan akhirnya mendorong anak-anak dan para guru menghalalkan segala cara. Prosesnya justru menjadikan siswa tidak tumbuh secara manusiawi sebagai subjek, namun menjadi objek dan korban sebuah sistem. Kejujuran ibarat barang langka di institusi yang menjadi pilar utama pembentukan manusia berkepribadian dan berkarakter. Tepat kiranya, penguatan pendidikan karakter dengan tema ”Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”, menjadi pilar kebangkitan bangsa.

Kematangan personalitas Siami dan Aam terlihat dari tindakan yang menunjukkan keluhuran nilai-nilai, keberanian memegang teguh prinsip dan tidak takut risiko. Internalisasi nilai-nilai dan norma, rupanya diimplementasikan sebagai pilihan sikap untuk mendahulukan yang maslahat ketimbang menutupi konspirasi kemudaratan. Tentu tidak mudah membangun pribadi dan keteguhan seperti ibu dan anak Siami - Aam itu, yang pasti menyadari risiko seperti apa yang bakal dihadapi dengan pilihan sikap tersebut.

Tanpa disadari, Aam menggambarkan sosok yang diamanahkan konstitusi kita, bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Pada masa anak-anaklah karakter dasar seseorang dibentuk. Karakter sebaiknya ditanamkan sejak usia emas anak-anak. Sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 30% berikutnya terjadi pada usia 8, dan hanya 20% pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.

Dari sinilah pendidikan karakter dalam keluarga menjadi kunci sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Bagi sebagian keluarga mungkin terasa sangat sulit, karena orang tua terlalu sibuk, mengejar karier, dan terjebak rutinitas. Mereka hanya mengandalkan pendidikan di lingkungan sekolah, bahkan mulai play group dan taman kanak-kanak. Siami memberikan teladan sangat berharga, dan putranya Alifa Ahmad Maulana menjadi mutiara yang kelak membangun masa depan bangsa.(suaramerdeka.com)

0 komentar: